Sumber Mukti Nggregeti
Oleh: Sri Muliyati
Teringat di sebuah malam sunyi
dengan hawa dingin menusuk ke pori-pori kulit diiringi lantunan musik alami
khas ala jangkrik banget dah hehe… Kami ber-4 sedang bersantai di kamar
kontrakan yang berukuran 4 x3 meter dengan memperbicangkan berbagai cerita lucu di tempat kami di tugaskan
sebagai peserta SM-3T Angkatan II. Tepatnya, di SMPN 1 Kuta Baharu, Kab Aceh
Singkil.
Tiba-tiba munculah sosok tinggi
besar tanpa ekspresi hadir hingga memecah tawa kami dan sempat membuat kami
spicles selama beberapa detik. Ia berdiri tepat di tengah pintu dengan
menenteng panci yang sepertinya masih panas kerena jampel (lap) ikut bertengger
ditangannya sebagai media untuk memegang panci yang masih kebul-kebul. “Ono opo
toh mbak?” tanya Niar dengan logatnya khas ala Pacitan. “Ada yang panggil aku
nggak tadi?” jawab mbak Fuji, emm lebih tepatnya dia balik bertanya. Hampir
bebarengan kami menjawab “Nggak adaaa.” Kami pun melanjutkan canda tawa kami
dengan mengacuhkan mbak Fuji yang masih tetap berdiri di tengah pintu.
“Hey reeeeek, Aku beneran loh.
Kayagnya ada yang manggil Aku tadi sewaktu memanaskan sayur di dapur.” Ucap
Mbak Fuji lagi. Kali ini kami beralih perhatin kami ke Mbak fuji lagi dengan
pandangan tetap santai dan sikap yang santai pula. Bahkan Yunin menjawab “
Halaah Mbak mungkin perasaanmu aja.” Mbak Fuji masih nampak bingung dengan
jawaban kami, “Trus siapa dong yang manggil aku tadi?” tanyanya. “Masak orang
iseng malem-malem di belakang rumah? secara lhoo letak rumah tetangga kita juga
jauh kan!” kembali lagi ia lontarkan pertanyaan tambahan.
“Emang apa sih yang kamu denger Ndut?” tanya
luluk yang selalu manggil mbak Fuji dengan panggilan Ndut alias Gendut. “Tadi
Neng, sewaktu aku manasin sayur kayagnya ada suara dari belakang yang manggil Aku
dengan satu kata yaitu (Mbaaaaak) pelan dan intonasinya agak panjang. Sontak
bulu kudukku merinding dan aku pun
menoleh kebelakang, namun tak kudapati sosok salah satu dari kalian ada di
situ. Dan suara itu berulang, namun aku yakin itu berasal dari belakang rumah.
Sadar akan hal itu aku langsung angkat panci ke sini.” Papar Mbak Fuji pada
kami.
Hawa di kamar itu makin dingin,
karena memang rumah kontrakan kami berdinding kayu sehingga semriwing udara
bisa gampang masuk sepuasnya, beralaskan tanah dan beratap seng. Namun suasana
kami makin menghangat karena menahan tawa dengan saling pandang satu sama lain
serta kembali memandang mbak Fuji lagi. Tawa kami tak lain karena melihat
ekspresi ketakutan mbak Fuji yang tampak lucu. Namun, sebenarnya ada rasa takut
yang terlintas. Karena ini bukan kali pertama diantara kami mendapatkan
pengalaman yang serupa.
“Aku juga pernah mbak.” Sahut
Yunin. “Kalo yang kudengar justru suara ribut-ribut seperti orang tawuran,
rameee banget. Jaraknya pun tidak terlalu jauh dibelakang rumah yang merupakan
kebon sawit, pikirku malem-malem kok ada rame-rame dan aku penasaran hingga ku
buka pintu belakang rumah dan kembali kudengar dengan seksama, lebih cermat
lagi aku melihat. Dan ternyata yang aku lihat hanyalah gelapnya malam tanpa ada
siapa-siapa, suara-suara itupun juga
lenyap tak bersisa, tinggallah suara serangga yang berpesata.” Cerita Yunin
pada kami.
“Teruss, kompor minyaknnya udah
dimatiin pa belum mbak?” Tanyaku. Hehehe
“Belum, bahkan belum ku kecilkan” jawab mbak Fuji. “Walah caaah iku seng luweh
medeni” sahut Niar.
Surabaya,
28 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar