Rabu, 03 September 2014

Sumber Mukti Nggregeti (cerpen) oleh Sri Muliyati



Sumber Mukti Nggregeti
Oleh: Sri Muliyati

            Teringat di sebuah malam sunyi dengan hawa dingin menusuk ke pori-pori kulit diiringi lantunan musik alami khas ala jangkrik banget dah hehe… Kami ber-4 sedang bersantai di kamar kontrakan yang berukuran 4 x3 meter dengan memperbicangkan berbagai  cerita lucu di tempat kami di tugaskan sebagai peserta SM-3T Angkatan II. Tepatnya, di SMPN 1 Kuta Baharu, Kab Aceh Singkil.
Tiba-tiba munculah sosok tinggi besar tanpa ekspresi hadir hingga memecah tawa kami dan sempat membuat kami spicles selama beberapa detik. Ia berdiri tepat di tengah pintu dengan menenteng panci yang sepertinya masih panas kerena jampel (lap) ikut bertengger ditangannya sebagai media untuk memegang panci yang masih kebul-kebul. “Ono opo toh mbak?” tanya Niar dengan logatnya khas ala Pacitan. “Ada yang panggil aku nggak tadi?” jawab mbak Fuji, emm lebih tepatnya dia balik bertanya. Hampir bebarengan kami menjawab “Nggak adaaa.” Kami pun melanjutkan canda tawa kami dengan mengacuhkan mbak Fuji yang masih tetap berdiri di tengah pintu.
“Hey reeeeek, Aku beneran loh. Kayagnya ada yang manggil Aku tadi sewaktu memanaskan sayur di dapur.” Ucap Mbak Fuji lagi. Kali ini kami beralih perhatin kami ke Mbak fuji lagi dengan pandangan tetap santai dan sikap yang santai pula. Bahkan Yunin menjawab “ Halaah Mbak mungkin perasaanmu aja.” Mbak Fuji masih nampak bingung dengan jawaban kami, “Trus siapa dong yang manggil aku tadi?” tanyanya. “Masak orang iseng malem-malem di belakang rumah? secara lhoo letak rumah tetangga kita juga jauh kan!” kembali lagi ia lontarkan pertanyaan tambahan.
 “Emang apa sih yang kamu denger Ndut?” tanya luluk yang selalu manggil mbak Fuji dengan panggilan Ndut alias Gendut. “Tadi Neng, sewaktu aku manasin sayur kayagnya ada suara dari belakang yang manggil Aku dengan satu kata yaitu (Mbaaaaak) pelan dan intonasinya agak panjang. Sontak bulu kudukku merinding dan  aku pun menoleh kebelakang, namun tak kudapati sosok salah satu dari kalian ada di situ. Dan suara itu berulang, namun aku yakin itu berasal dari belakang rumah. Sadar akan hal itu aku langsung angkat panci ke sini.” Papar Mbak Fuji pada kami.
Hawa di kamar itu makin dingin, karena memang rumah kontrakan kami berdinding kayu sehingga semriwing udara bisa gampang masuk sepuasnya, beralaskan tanah dan beratap seng. Namun suasana kami makin menghangat karena menahan tawa dengan saling pandang satu sama lain serta kembali memandang mbak Fuji lagi. Tawa kami tak lain karena melihat ekspresi ketakutan mbak Fuji yang tampak lucu. Namun, sebenarnya ada rasa takut yang terlintas. Karena ini bukan kali pertama diantara kami mendapatkan pengalaman yang serupa.
“Aku juga pernah mbak.” Sahut Yunin. “Kalo yang kudengar justru suara ribut-ribut seperti orang tawuran, rameee banget. Jaraknya pun tidak terlalu jauh dibelakang rumah yang merupakan kebon sawit, pikirku malem-malem kok ada rame-rame dan aku penasaran hingga ku buka pintu belakang rumah dan kembali kudengar dengan seksama, lebih cermat lagi aku melihat. Dan ternyata yang aku lihat hanyalah gelapnya malam tanpa ada siapa-siapa,  suara-suara itupun juga lenyap tak bersisa, tinggallah suara serangga yang berpesata.” Cerita Yunin pada kami.
“Teruss, kompor minyaknnya udah dimatiin pa belum mbak?” Tanyaku.  Hehehe “Belum, bahkan belum ku kecilkan” jawab mbak Fuji. “Walah caaah iku seng luweh medeni” sahut Niar. 

                                                                                                Surabaya, 28 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar