Rabu, 03 September 2014

Seberkas Senyum Mengurai Jejak (cerpen) oleh Sri Muliyati



Seberkas Senyum Mengurai Jejak
Oleh Sri Muliyati

Hari ini aku terpukau di sudut warung bakso Pak Ojan yang ramai, penuh sesak dengan pelanggannya yang tiap waktu tak pernah surut kecuali kalo tutup. Aku salah satu pelanggannya meski kini tak bisa bertandang ke sini tiap hari. Masih tergambar jelas, dulu dengan berbekal Rp 1.000 aku sudah dapat bakso beserta es kelapa muda, dan kini uang Rp 8.000 hanya dapat baksonya saja. Namun kini Pak Ojan tak lagi mengayuh gerobaknya untuk datang ke sekolah kami tiap siang hari tepat di jam istirahat ke-dua. Di warung dengan bangunan permanen ini , kini ia cukup memasang tulisan “Buka” yang rutin dilakukan pegawainya di pukul 09.00 WIB itu, dan serentak pelengganya pun akan berdatangan bahwan tak jarang akan penuh sesak seperti pemandangan yang aku lihat saat ini.
Pikiranku melayang tepat ke waktu enam tahun yang lalu, di sini, di kursi ini, aku bersamanya,  si pemilik senyum termanis yang pernah aku temui. “Tahu nggak sih kalo saat ini aku sebel banget” paparnya dengan nada tak serius lengkap dengan senyuman. Ku balas nyengir “memang kenapa?” jawabku. “Sudut jam 9.” katanya, yang menunjukkan keberadaan seseatu yang menarik sedang berada di arah jam 9. Aku langsung menoleh ke sebelah kiri, dan aku dapati seorang cewek yang sedang memandangiku, namun iya sontak membuang pandangan dengan tergagap ketika menyadari bahwa aku pun memandangnya. Aku alihkan pandanganku lagi pada si manis. “Ay, Aku ganteng banget yak?” kataku dengan nada menggodanya. “Hah, biasa aja kelesss” agak ketus ia menjawab diiringi dengan tawa kami berdua.
Aku masih merasakan kenyamanan berbincang sambil makan bakso yang menurutku makin lengkap rasa enaknya karena ditemani orang terkasih. Bahkan hingga saat ini aku masih bisa merasakan kenyamanan itu meski tak lagi ada sosok nyata di hadapanku. Yaaaah cukup mengingatnya lekat-lekat itu sudah istimewa bagiku.
Lamunanku tersadar dengan deringan ponseku yang bertuliskan iklan yang di kirimkan melalui  pesan siar di BBM. Hemm memang banyak sebagian teman yang kini punya pekerjaan sampingan untuk bisnis online dengan memanfaatkan jejaring sosial yang sudah terprogram di ponsel masing-masing. tentunya hal tersebut untuk mempermudah melakukan aktivitas di tengah persaingan pencarian biaya hidup yang semakin sulit di era ini.
 Aku rasa cukup, dan aku harus beranjak pulang. Sebelum aku menyimpan ponselku di saku, kusempatkan untuk mengintip update-an status, atau sekedar melihat foto profilnya.  
***
“Sudah makan le?” tanya ibu yang kehadirannya tak kusadari sedang duduk di sofa, karena aku masuk rumah ngeluyur saja tanpa salam. “Sudah Buk, barusan makan bakso di luar.” Jawabku sambil melangkah dan berbalik arah untuk duduk di samping wanita terhebat dalam hidupku ini. Pandanganku tertuju ke arah album foto yang di pegangnya. Hatiku perih, dan tiba-tiba sesak melihat orang yang disampingku kini mencoba untuk menguatkan diri meski ku tahu dari matanya dia amatlah rapuh setelah kepergian Ayah tepat dua bulan yang lalu. “Buuk!” aku memulai percakapan. “Hemm.” Jawabnya. “Ibuk sudah makan?” tanyaku, meski aku tahu jawabannya karena ira adikku tadi mengatakan bahwa ibuk blm makan dari pagi. “Sudah “ jawabnya dengan senyuman yang dipaksakan tapi ia menatapku lekat penuh kasih sayang.
“Tiba-tiba aku lapar lagi buk, lapaaaaaar sekali. dan ibu tahu yang ingin aku makan saat ini?” tanyaku. Ibu hanya menggeleng. “Aku ingin makan asem-asem dan dadar jagung, tentunya makan bersama Buk e yah yaaah hehehe” sambil pasang wajah memelas dan merayu. Ibu tersenyum dan berkata “ Tunggu ya Buk e masak sebentar, kebetulan tadi dapat ikan dan di beri jagung muda sama Budhe Sari.”
***
Liburan cuti dari kantor yang aku ambil sudah harus berakhir hari ini  dan aku harus kembali nanti sore dengan jadwal penerbangan pukul 19.15 WIB. Setelah mandi dan bersiap-siap aku kembali menatap foto yang terpampang di dinding. Kata yang teramat berat terlantun dari hati yang paling dalam “Bagaimana bisa Jenengan bisa meninggalkan buk e dan Adek-adek yang masing sangat membutuhkan Ayah, Aku merindukanmu… sangat amat merindukanmu”.
“Taksinya sudah datang mas”, teriak adek terkecilku. Bergegas aku menuju ruang tamu dan kudapati Ibu sudah menunggu di sana bersama Ira.  Setelah berpamitan aku pun bergegas untuk ke bandara. Perjalanan ke Jakarta tak perlu banyak waktu, justru dari bandara ke mes yang banyak memakan kesabaran. Hemm biasa, kota metropolitan ini masih saja macet meski gubernurnya gonta ganti. Karena sejatinya kebijakan dibuat sebaik apapun jika tanpa  partisipasi masyarakatnya sama aja bohong. Karena itu aku memilih untuk naik motor yang tiga hari yang lalu aku titipkan di tempat teman yang memang bekerja sebagai staf Admin di Bandara Sukarno Hatta. Aku ingin sampai mes dengan segera mangingat ada pekerjaan yang harus aku siapkan untuk besok, hari pertama masuk kerja setelah cuti.
Aku memacu kendaraan dengan kecepatan cukup tinggi di tengah malam yang cukup dingin. Sialnya aku melihat lubang mengangah di tengah jalan dengan tiba-tiba, antisipasiku terlambat dan aku jatuh terbalik, terlempar bersama motor sejauh 3 meter dan terkapar dengan posisi kaki tertindih motor. Bersamaan dengan itu ada bus dengan kecepatan tinggi melesat tepat di jalur lurus tempat aku terjatuh. Penglihatanku mengabur, terakhir yang ku lihat adalah cahaya mengkilat yang semakin dekat menuju ke muka ku. 
***
Samar-samar aku mendengar ada yang sedang berbicara, emm… suara yang sangat aku kenal, dan aku tertarik untuk segera membuka mata. Rasanya berat, dan masih remang-remang tapi makin lama semakin jelas.  Aku memastikan dimanakah aku dengan mengarahkan penglihatanku ke segala arah. Dan berhenti di satu titik tempat seorang bidadari sedang bercakap dengan smart phonnya, tapi aku tak bisa melihat wajahnya karena posisi badannya yang membelakangiku. “… bahan akan ku kirim lewat email dan aku usahakan akan kembali secepatnya, justru aku yang berterima kasih mbak. Baik, selamat malam juga, waalaikmsalam. ” itulah perkatanyang kudengar sebelum ia menutup telponnya  meski tak terlalu keras ia ucapkan.
Usai pembicaraannya dia berbalik dan memandang ke arahku, entah rasanya seperti mimpi ketika yang kudapati sosok perempuan manis yang melemparkan senyuman dan berjalan ke arahku. Diakah itu? “Pean sudah siuman?” dengan mata sembab dan senyum yang dipaksakan ia lontarkan senyuman. Pertanyaannya meyakinkanku bahwa itu adalah Dia pemilik suara khas yang tak kan pernah terlupakan meski jalinan kami sudah terputus oleh jarak waktu dan nasib. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Sebelum aku bisa mengeluarkan kata dari bibirku, ia berucap lagi “ Pean tadi tak sadarkan diri selama 1 jam, Alhamdulillah kata dokter kondisi pean cukup baik, dan besok sudah bisa pulang jika kondisi pean memungkinkan, memar di kaki cukup parah tapi untunglah gak sampai patah tulang, dan luka luar yang lumayan di lengan karena tergeser aspal. Emm Untung juga hidungnya masih utuh sehingga wajah  gantengnya gak berkurang “. Kalimat terakhirnya membuat kami tertawa.
“Kok pean bisa ada di sini ?“ Iya aku ada kerjaan di Jakarta untuk mengisis seminar selama dua hari, dan besok pagi harus kembali ke habitat, tapi rencananya aku mempercepat kepulanganku. Ternyata di tengah jalan ada kecelakaan tiba-tiba tepat di hadapan mobil yang aku tumpangi. Sehingga membuat sopir berhenti mendadak. Untungnya semua selamat, sempat tidak percaya juga ternyata kudapati pean tergeletak tepat di depan mobilku.” Tetap dengan gaya cerewet yang tak berubah dia paparkan padaku tragedi yang membawanya hingga bertemu denganku. Sambil mengingat dan berpikir.  Jadi, yang aku lihat terakhir pasca kecelakaan bukanlah Bus melainkan mobilnya. Mungkin memang terlalu banyak yang kupikirkan akhir-akhir ini.
Entah bercampur aduk perasaanku hingga sakit pun tak terasa hehe. “Makasih yak?” ucapku padanya. Hu’em jawabnya singkat. Sebelum aku melontarkan pertanyaan padanya  terdengar ketukan pintu dan masuklah Hendri dan Bimo teman kerjaku. Lewat pernyataan Bimo aku tahu bahwa Amel yang memberikan kabar tentang kecelakaanku. Yah Amel si manis ini.
“Aku sudah menghubungi istrimu dan besok dia akan berangkat dari Bandung katanya.” Ujar Hendri. “Baiklah karena pean sudah ada yang menemani sepertinya aku harus pamit. Jangana banyak pikiran. Kata dokter kondisi pean sedang kecapek an dan kurang istirahat, moga lekas sembuh ” ujarnya dengan siap menenteng tas kecilnya. “Makasih banyak yak?” hanya kata itu yang terucap sembari menjabat tangannya. Meski segudang kata ingin sekali aku ungkapkan, ternyata aku tak punya nyali untuk melakukan itu. Bahkan ingin sekali ku hentikan waktu biar masa ini tak akan pernah berlalu, tapi apalah dayaku Tuhanlah Sang Penentu. Ia berlalu dan lenyap berganti sunyi meski ada dua teman yang menggantikannya di sini. 

                                                                                                Jombang, 31 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar