Seberkas Senyum Mengurai Jejak
Oleh Sri Muliyati
Hari ini aku terpukau di sudut
warung bakso Pak Ojan yang ramai, penuh sesak dengan pelanggannya yang tiap
waktu tak pernah surut kecuali kalo tutup. Aku salah satu pelanggannya meski
kini tak bisa bertandang ke sini tiap hari. Masih tergambar jelas, dulu dengan
berbekal Rp 1.000 aku sudah dapat bakso beserta es kelapa muda, dan kini uang
Rp 8.000 hanya dapat baksonya saja. Namun kini Pak Ojan tak lagi mengayuh
gerobaknya untuk datang ke sekolah kami tiap siang hari tepat di jam istirahat
ke-dua. Di warung dengan bangunan permanen ini , kini ia cukup memasang tulisan
“Buka” yang rutin dilakukan pegawainya di pukul 09.00 WIB itu, dan serentak
pelengganya pun akan berdatangan bahwan tak jarang akan penuh sesak seperti
pemandangan yang aku lihat saat ini.
Pikiranku melayang tepat ke waktu
enam tahun yang lalu, di sini, di kursi ini, aku bersamanya, si pemilik senyum termanis yang pernah aku
temui. “Tahu nggak sih kalo saat ini aku sebel banget” paparnya dengan nada tak
serius lengkap dengan senyuman. Ku balas nyengir “memang kenapa?” jawabku.
“Sudut jam 9.” katanya, yang menunjukkan keberadaan seseatu yang menarik sedang
berada di arah jam 9. Aku langsung menoleh ke sebelah kiri, dan aku dapati
seorang cewek yang sedang memandangiku, namun iya sontak membuang pandangan
dengan tergagap ketika menyadari bahwa aku pun memandangnya. Aku alihkan
pandanganku lagi pada si manis. “Ay, Aku ganteng banget yak?” kataku dengan
nada menggodanya. “Hah, biasa aja kelesss” agak ketus ia menjawab diiringi
dengan tawa kami berdua.
Aku masih merasakan kenyamanan
berbincang sambil makan bakso yang menurutku makin lengkap rasa enaknya karena
ditemani orang terkasih. Bahkan hingga saat ini aku masih bisa merasakan
kenyamanan itu meski tak lagi ada sosok nyata di hadapanku. Yaaaah cukup
mengingatnya lekat-lekat itu sudah istimewa bagiku.
Lamunanku tersadar dengan
deringan ponseku yang bertuliskan iklan yang di kirimkan melalui pesan siar di BBM. Hemm memang banyak
sebagian teman yang kini punya pekerjaan sampingan untuk bisnis online dengan
memanfaatkan jejaring sosial yang sudah terprogram di ponsel masing-masing.
tentunya hal tersebut untuk mempermudah melakukan aktivitas di tengah
persaingan pencarian biaya hidup yang semakin sulit di era ini.
Aku rasa cukup, dan aku harus beranjak pulang.
Sebelum aku menyimpan ponselku di saku, kusempatkan untuk mengintip update-an
status, atau sekedar melihat foto profilnya.
***
“Sudah makan le?” tanya ibu yang
kehadirannya tak kusadari sedang duduk di sofa, karena aku masuk rumah ngeluyur
saja tanpa salam. “Sudah Buk, barusan makan bakso di luar.” Jawabku sambil
melangkah dan berbalik arah untuk duduk di samping wanita terhebat dalam
hidupku ini. Pandanganku tertuju ke arah album foto yang di pegangnya. Hatiku
perih, dan tiba-tiba sesak melihat orang yang disampingku kini mencoba untuk
menguatkan diri meski ku tahu dari matanya dia amatlah rapuh setelah kepergian
Ayah tepat dua bulan yang lalu. “Buuk!” aku memulai percakapan. “Hemm.” Jawabnya.
“Ibuk sudah makan?” tanyaku, meski aku tahu jawabannya karena ira adikku tadi
mengatakan bahwa ibuk blm makan dari pagi. “Sudah “ jawabnya dengan senyuman
yang dipaksakan tapi ia menatapku lekat penuh kasih sayang.
“Tiba-tiba aku lapar lagi buk, lapaaaaaar
sekali. dan ibu tahu yang ingin aku makan saat ini?” tanyaku. Ibu hanya
menggeleng. “Aku ingin makan asem-asem dan dadar jagung, tentunya makan bersama
Buk e yah yaaah hehehe” sambil pasang wajah memelas dan merayu. Ibu tersenyum
dan berkata “ Tunggu ya Buk e masak sebentar, kebetulan tadi dapat ikan dan di
beri jagung muda sama Budhe Sari.”
***
Liburan cuti dari kantor yang aku
ambil sudah harus berakhir hari ini dan
aku harus kembali nanti sore dengan jadwal penerbangan pukul 19.15 WIB. Setelah
mandi dan bersiap-siap aku kembali menatap foto yang terpampang di dinding.
Kata yang teramat berat terlantun dari hati yang paling dalam “Bagaimana bisa
Jenengan bisa meninggalkan buk e dan Adek-adek yang masing sangat membutuhkan
Ayah, Aku merindukanmu… sangat amat merindukanmu”.
“Taksinya sudah datang mas”,
teriak adek terkecilku. Bergegas aku menuju ruang tamu dan kudapati Ibu sudah
menunggu di sana bersama Ira. Setelah
berpamitan aku pun bergegas untuk ke bandara. Perjalanan ke Jakarta tak perlu banyak
waktu, justru dari bandara ke mes yang banyak memakan kesabaran. Hemm biasa,
kota metropolitan ini masih saja macet meski gubernurnya gonta ganti. Karena
sejatinya kebijakan dibuat sebaik apapun jika tanpa partisipasi masyarakatnya sama aja bohong. Karena
itu aku memilih untuk naik motor yang tiga hari yang lalu aku titipkan di
tempat teman yang memang bekerja sebagai staf Admin di Bandara Sukarno Hatta. Aku
ingin sampai mes dengan segera mangingat ada pekerjaan yang harus aku siapkan
untuk besok, hari pertama masuk kerja setelah cuti.
Aku memacu kendaraan dengan
kecepatan cukup tinggi di tengah malam yang cukup dingin. Sialnya aku melihat
lubang mengangah di tengah jalan dengan tiba-tiba, antisipasiku terlambat dan
aku jatuh terbalik, terlempar bersama motor sejauh 3 meter dan terkapar dengan
posisi kaki tertindih motor. Bersamaan dengan itu ada bus dengan kecepatan
tinggi melesat tepat di jalur lurus tempat aku terjatuh. Penglihatanku
mengabur, terakhir yang ku lihat adalah cahaya mengkilat yang semakin dekat
menuju ke muka ku.
***
Samar-samar aku mendengar ada
yang sedang berbicara, emm… suara yang sangat aku kenal, dan aku tertarik untuk
segera membuka mata. Rasanya berat, dan masih remang-remang tapi makin lama semakin
jelas. Aku memastikan dimanakah aku
dengan mengarahkan penglihatanku ke segala arah. Dan berhenti di satu titik
tempat seorang bidadari sedang bercakap dengan smart phonnya, tapi aku tak bisa
melihat wajahnya karena posisi badannya yang membelakangiku. “… bahan akan ku
kirim lewat email dan aku usahakan akan kembali secepatnya, justru aku yang
berterima kasih mbak. Baik, selamat malam juga, waalaikmsalam. ” itulah
perkatanyang kudengar sebelum ia menutup telponnya meski tak terlalu keras ia ucapkan.
Usai pembicaraannya dia berbalik
dan memandang ke arahku, entah rasanya seperti mimpi ketika yang kudapati sosok
perempuan manis yang melemparkan senyuman dan berjalan ke arahku. Diakah itu?
“Pean sudah siuman?” dengan mata sembab dan senyum yang dipaksakan ia lontarkan
senyuman. Pertanyaannya meyakinkanku bahwa itu adalah Dia pemilik suara khas
yang tak kan pernah terlupakan meski jalinan kami sudah terputus oleh jarak
waktu dan nasib. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Sebelum aku bisa
mengeluarkan kata dari bibirku, ia berucap lagi “ Pean tadi tak sadarkan diri
selama 1 jam, Alhamdulillah kata dokter kondisi pean cukup baik, dan besok
sudah bisa pulang jika kondisi pean memungkinkan, memar di kaki cukup parah
tapi untunglah gak sampai patah tulang, dan luka luar yang lumayan di lengan
karena tergeser aspal. Emm Untung juga hidungnya masih utuh sehingga wajah gantengnya gak berkurang “. Kalimat
terakhirnya membuat kami tertawa.
“Kok pean bisa ada di sini ?“ Iya
aku ada kerjaan di Jakarta untuk mengisis seminar selama dua hari, dan besok
pagi harus kembali ke habitat, tapi rencananya aku mempercepat kepulanganku. Ternyata
di tengah jalan ada kecelakaan tiba-tiba tepat di hadapan mobil yang aku
tumpangi. Sehingga membuat sopir berhenti mendadak. Untungnya semua selamat,
sempat tidak percaya juga ternyata kudapati pean tergeletak tepat di depan
mobilku.” Tetap dengan gaya cerewet yang tak berubah dia paparkan padaku
tragedi yang membawanya hingga bertemu denganku. Sambil mengingat dan berpikir. Jadi, yang aku lihat terakhir pasca
kecelakaan bukanlah Bus melainkan mobilnya. Mungkin memang terlalu banyak yang
kupikirkan akhir-akhir ini.
Entah bercampur aduk perasaanku
hingga sakit pun tak terasa hehe. “Makasih yak?” ucapku padanya. Hu’em jawabnya
singkat. Sebelum aku melontarkan pertanyaan padanya terdengar ketukan pintu dan masuklah Hendri
dan Bimo teman kerjaku. Lewat pernyataan Bimo aku tahu bahwa Amel yang memberikan
kabar tentang kecelakaanku. Yah Amel si manis ini.
“Aku sudah menghubungi istrimu
dan besok dia akan berangkat dari Bandung katanya.” Ujar Hendri. “Baiklah
karena pean sudah ada yang menemani sepertinya aku harus pamit. Jangana banyak
pikiran. Kata dokter kondisi pean sedang kecapek an dan kurang istirahat, moga
lekas sembuh ” ujarnya dengan siap menenteng tas kecilnya. “Makasih banyak yak?”
hanya kata itu yang terucap sembari menjabat tangannya. Meski segudang kata
ingin sekali aku ungkapkan, ternyata aku tak punya nyali untuk melakukan itu.
Bahkan ingin sekali ku hentikan waktu biar masa ini tak akan pernah berlalu,
tapi apalah dayaku Tuhanlah Sang Penentu. Ia berlalu dan lenyap berganti sunyi
meski ada dua teman yang menggantikannya di sini.
Jombang,
31 Agustus 2014